Qobiltu Nikakhaha, Aku Terima Nikahnya Dia
Dalam lafadz akad nikah versi bahasa arab, ada ucapan “Qobiltu Nikakhaha…” yang berarti “Aku terima nikahnya….” Ucapan ini singkat hanya beberapa detik saja tetapi punya konskuensi besar.
Kalimat yang bila diucapkan dalam prosesi akad nikah, dapat ‘mengubah’ sesuatu yang sebelumnya haram menjadi halal.
Makna tersirat dari ikrar akad itu juga begitu dalam, selain makna tersurat yang sudah jelas itu adalah ucapan qobul nikah.
Adapun yang tersirat adalah bahwa saya terima menanggung amanah bapak-ibu untuk menerima putri Anda sebagai istri saya. Bertanggungjawab menjadi pemimpinnya dalam urusan dunia dan akhirat.
Siap menanggung dosanya jika, seorang suami lalai untuk memperingatkan istrinya dari perbuatan mungkar.
Dosa dia (istri) karena tidak menutup aurat di khalayak ramai. Dosa jika ia tidak melaksanakan kewajiban sholat pada waktunya. Serta dosa lainnya yang mana seorang suami lalai dan abai terhadap kewajiban ukhrowi keluarganya.
Bahkan dosa calon anak-anaknya kelak juga menjadi tanggungjawab suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hal ini kewajiban suami adalah mengingatkan. Adapun setelah itu, maka kewajiban istrilah yang untuk menaati suaminya.
Sekirangnya seorang suami gagal dan berlepas diri dari hal-hal yang wajib itu, membiarkan keluarganya terjerumus dalam lubang maksiat. Maka suaminya ikut menanggung dosa keluarga itu. Sebab ia adalah penanggungjawab pertama, sebelum yang lainnya.
Ucapan qobiltu ini bukanlah hanya sebatas ucapan di lisan saja. Bukan pula sebatas ikrar terhadap bapak dan ibu dari mempelai wanita, tetapi juga perjanjian kepada Allah subhaanahu wa ta’ala.
Ikrar itu bisa berbentuk qobiltu, ijab qobul bahasa arab, tetapi juga bisa dengan “aku terima…” lafadz ijab qobul bahasa indonesia. Ucapan itu memiliki konskuensi yang sama beratnya. Dan hanya berbeda pada jenis bahasanya.
Jika seorang suami gagal dengan tanggungjawabnya dan lalai dengan urusan penting ini, maka kefasikan bisa tersemat dalam dirinya. Bahkan bersiap untuk menerima konskuensi berat di hadapan Allah.
Maka, wahai para istri semua. Begitu beratnya tanggungjawab seorang suami dalam keluarganya. Ikrar ‘sakral’ dari ijab qobul itulah yang mengguncang arsy Ar Rahman karena beratnya ucapan itu.
Dengan ucapan itu, seketika hak dan kewajiban suami istri menjadi konskuensi bersama dalam rumah tangga.
Maka untuk meringankan beban para suami di dunia ini, para istri hendaknya berusaha sekuat mungkin untuk taat dan patuh kepada suami. Selama mereka berada di rel yang benar.
Semua itu dilakukan untuk melaksanakan perintah Allah ta’ala dan menjauhi segenap larangan Allah ta’ala.
Bagi mereka yang telah memiliki suami, maka berbakti adalah salah satu cara tersimpel dan termudah menuju ridho Allah ta’ala.
Dalam hadits Ibnu Hibban, Nabi bersabda tentang keadaan istri yang mentaati suaminya, maka pahala besar menantinya. Jika seorang istri melaksanakan sholat fardhu yang lima, berusaha berpuasa Ramadhan, menjaga dirinya dari perbuatan zina, dan mentaati suaminya. Maka ia dipersilahkan masuk surga dari segala pintu yang ia mau.
Adapun bagi mereka yang belum bersuami, maka perbanyaklah bekal takwa, pantaskanlah dirimu agar mendapatkan calon imam yang didambakan. Mampu mengajak kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Agar kelak rumah tangga itu bisa terjalin tidak hanya di dunia saja, tetapi menembus luasnya akhirat. Mendapat ridho Allah subhaanahu wa ta’ala.